Beberapa sosok manusia tengah bergerak pelan, gemetar dalam kelam. Seorang perrempuan, seorang ibu tengah merangkul, merengkuh beberapa manusia korban sekaligus dalam pelukannya sambil berlutut bersama. Wajah sang bunda tengadah ke atas. Teriakannya berpendar-pendar, matanya menerawang jauh. Rupangya tengah dibisikkan sebuah doa manusia pada situasi batas daya kemapuan hidupnya. Doa sunyi dari para korban tragedi kekerasan politik, ekonomi di negeri ini. Doa seorang anak, seorang mahasiswa, seorang petani, warga miskin urban, warga pengungsian dan seorang perempuan muda yang mendekap seorang bayi mungil. Sosok manusia yang sengaja dibuat dalam posisi bertekuk lutut dengan kepala tertunduk lemah, untuk menggambarkan posisi yang dikenal dengan simbol gesture dari orang yang teraniaya, tidak berdaya dan diancam untuk ditaklukkan.
Kembali pada figur di belakang, seorang ibu dengan ekspresi wajah berduka, dan gesture tangan yang merangkul dengan kepala yang mendongak ke atas berteriak, merupakan pernyataan simbolik yang kuat dari sebuah perlawanan moral terhadap segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Sang bunda berteriak kepada dunia untuk menghentikan segala bentuk pengrusakan lingkungan hidup warga bumi Indonesia. Sebuah teriakan protes panjang tanpa suara kepada segala jenis kekuasaan yang memproduksi berbagai bentuk kekerasan politik dan ekonomi di Indonesia dan di manapun juga. Dengan sengaja dihadirkan citra ibu sebagai simbol mother nature yang selalu memberi perlindungan. Ibu negeri yang selalu membela tanah tumpa darah serta anak-anaknya yang menjadi korban ketidak-adilan.
Sampai detik ini, di negeri ini, korban jiwa masih saja terus berjatuhan akibat tindak kekerasan, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), baik oleh sesama warga maupun oleh aparan negara. Reformasi yang menjajikan kehidupan bernegara dan bermasyrakat lebih baik, menjadi sebuah paradoks yang amat memilukan. Kekerasan dan korban memang seperti menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Selama ada hubungan kekuasaan yang dilandasi ketidakadilan, selama itulah korban tidak ada. Hubungan kekauasan merupakan kebutuhan manusia akan tatanan sosial , karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Prasyaratnya adlaah pengkuan bebas dari semua yang terlibat di dalam tatanan tempat kekuasaan itu berlaku. Dasar untuk pengakuan bebas adalah keadilan. Ketika pihak yang berkuasa menolak tuntutan keadilan, pengakuan berlangsung atas dasar paksaan atau kekarasan yang melahirkan penindasan dan korban-korbannya , baik korban kekrasan fisik maupun struktural. Kedua jenis kekerasan ini berbeda karakteristiknya namun secara hakiki sama-sama merupakan pelanggaran terhadap swa-ruang seseorang, atau ruang tempat seseorang hanya berhubungan dengan diri sendiri.
Kisah korban adalah kisah peradaban manusia. Riwayat korban adalah kisah tentang manusia yang menderita, terdomestifikasi dan terasingkan. Di dalam peprangan paling besar sekalipun, korban adalah angka-angka yang menyumbang bagi kemenangan, atau bukti untu kekalahan. Sebagian dari mereka bisa ditemukan sebagai nama di tugu peringatan atau foto-foto di museum. Sebagian lagi tercantum di kuburan-kunuran massal yang tersebar di banyak negara. Selebihnya tinggal dalam ingatan para kerabat, yang tidak tercatat, atau senagja digeser dari sejarah dalam sebuah conspirasi of silence yang dibangu demi kepentingan kekuasaan. Mungkin juga akibat kejengahan manusia meninggalkan rekaman atas kedurjahanaannya sendiri, sehingga pengalaman akan kebengisan tidak diperbincangkan.
Apakah penderitaan tak seperti pengalaman-pengalan tragedi kemanusiaan itu memiliki makna? Bukankah penderitaan itu sebuah pengalaman negatif yang didalamnya manusia berhadapan dengan kesewenangan nasib yang tanpa ampun dan oleh karenanya manusia kehilangan orientasi dan tuijuan hidupnya? Bukankah penderitaan itu suatu pengalaman perbatasan? Pengalaman yang memudarkan warna-warni penghayatan hidup kita dan merenggut semangat hidup kita tanpa ampun? Adakah pengalaman penderitaan senantiasa merupakan pangalaman manusia kehilangan makna?
Manusia berbahagia dengan menemukan makna dalam setiap situasi hidupnya. Demi penemuan makna itulah, jika perlu manusia siap untuk menderita. Manusia memiliki kehendak untuk makna. Manusia tidak hanya lapar akan makna, makna yang dipahami sebagai sesuatu yang objektif, yakni bukan sebagai sesuatu yang dapat ia konstruksikan sendiri, melainkan sebagai sesuatu yang dapat ia konstruksikan sendiri melainkan sesuatu yang harus ditemukan atau dikenali. Dalam kehidupan yang palin g gelap sekalipun, pada dasarnya manusia tak akan menghentikan pencarian akan makna.
Dalam cerita-cerita yang didengarikan akan korban tragedi ekerasan politik, begitu banyak orang merasa hidupnya dinistakan. Bahkan para korban tragedi 1965, yang mengalami penjara dan pengasingan puluhan tahun, kehidupan ini terasa diperversikan. Kehidupan dan kebtuhan hidup manusia diprimitifkan dan disimpan secara total. Rasa putus asa, kecemasan rasa rendah diri, pikiran untuk bunuh diri obsesi dan rasa panik. Semua afeksi destruktif ini dapat meremukkan manusia, bila tak ada sarana perlindungan di dalam jiwanya unti menyesuaikan diri dalam lingkungan gelap ini. Karena itu afeksi-afeksi destruktif berubah menjadi apati. Maka dari itu para penghuni penjara yang hidup dalam sistem pelupaan ini cenderung menjadi otomat-otomat tanpa perasaan, menjadi manusia-manusia tanpa kedirian. Manusia yang acuh tak acuh sekaligus agresif di hadapan sosial mereka. Penderitaan semacam itu, yang pada umumnya jauh lebih dalam daripada rasa sakit jasmaniah, merupakan kehilangannya kebebasan dan perendahan martabt manusia.
Manusia semua di dalam situasi kehidupoan senantiasa memiliki kesempatan untuk mewujudkan nilai atau makna kehidupannya. Melalui tindakan atau kegiatan aktif dan produktifnya manusia mewujudkan nilai-nilai kreatif dan melalui penerimaan pasif akan dunia seperti misalnya cerita akan alam manusia mewujudkan nilai-nila penghayatan hidupnya. Bahkan jika kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak dan menhayati pengalaman itu tertutup, tetap saja ada kemungkinan untuk mewujudkan nilai, yaitu dengan tetap berani mengambil sikap terhadap situsi batas daya manusia yang tak terperi itu. Inilah “nilai-nilai sikap” yang dapatterwujud di mana saja terdapat hal-hal yang tak dapat diubah, sesuatu yang menyerupai nasib tak terelak. Denagn cara menerima hal-hal macam inilah akan terbuka suatu kelimpahan kemungkinan-kemungkinan nilai. Namun, hal itu berati bahwa kehidaupan manusia, tidak hanya dapat dipenuhi dalm tindakan menciptakan sesuatu ataupun menikmati sesuatu, melainkan juga bahkan di dalam penderitaan.
Hanya makhluk yang senantiasa mempunyai kesempatan untuk mewujudkan makna hidupnya adalah suatu makhluk yang merdeka. Manusia adalah makhluk yang senantiasa memutuskan. Manusia senantiasa akan memutuskan keadaannya saat ini dan ka menjadi apa dia pada beriutnya. Kemungkinan-kemungkinan itu untuk menjadi malaikat atau iblis senantiasa ada dalam dir manusia. Seorang pejuang dapat saja langsung menyosnog timah panas yang bakal menembus jantungnya begitu saja atau dia menyongsong sambil mengheninkan cipta dengan sebau doa di bibir. Amkna terakhir yang akan dapat diwujudkan oleh manusia dalam situasi bats daya daya kemampuan hidupnya, tak lain pada kebebasannya untuk memutuskan dia menjadi apa.
Sebenarnya dalam diri manusia selalu ada kekuatan untuk mengatakan “ya” atau “tidak” terhadap ketakutan-ketakutan dan kerapuhan-kerapuhan jiwa. Manusia bahkan membutuhkan tegangan agar ia sehat. Dan hal itu sendiri merupakan suatu gerak, karena ia dapat ada sebagaimana adanaya dengan cara melampuai dirinya sendiri, dan mengacu pada sutu yang lain daripada dirinya. Proses menjadi manusia akan terganggu bila proses tersebut tidak mewujudkan atau mengahayati transendensi dirinya, kebebasan eksistensial, semua ungkapn ini mengacu pada gerak untuk menemukan makna. Bukanlah seorang pemberontak yang menolak makna, yang meruntuhkan setiap setiap interpretasi makna, melainkan seorang yang memberontak melawan kondisi-kondisi kehidupan yang membatasi; seorang yang melawan semua itu untuk mewujudkan dirinya guna menemukan makna keberadaan. Dia tidak menyerah untuk mencari makna. Bila ia seperti dalam cerita penderitaan, tidak lagi dapat maju ke depan, dia tidak begerak ke “ketinggian”, melainkan ke “kedalaman” kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar